Game Over untuk Zenius Setelah 20 Tahun:
Kesalahan Besar yang Membunuh Zenius
Hilman Kamil
2/22/20253 min read


Setelah 20 tahun beroperasi, salah satu startup edtech terbesar di Indonesia, Zenius, akhirnya harus menutup operasionalnya. Perjalanan panjangnya, yang penuh dengan inovasi dan pertumbuhan pesat, harus berakhir karena satu keputusan besar yang ternyata salah dan sulit untuk diperbaiki.
Dalam artikel ini, saya akan membahas perjalanan Zenius dari awal berdiri, ekspansi ambisiusnya, hingga keputusan yang berujung pada kehancuran. Semoga ini bisa menjadi pelajaran berharga bagi para founder startup agar lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan besar.
Perjalanan Awal Zenius
Zenius didirikan oleh Sabda Putra Subekti dan Medy Suharta pada tahun 2004 sebagai bimbingan belajar offline di Jakarta. Perusahaan ini kemudian berinovasi dengan merekam materi pembelajaran ke dalam CD dan DVD untuk menjangkau lebih banyak siswa.
Tahun 2008, Zenius meluncurkan situs web untuk menjual materi pembelajaran dalam format digital, dan pada tahun 2019, mereka meluncurkan aplikasi dengan lebih dari 80.000 video pembelajaran gratis. Pandemi COVID-19 pada 2020 menjadi titik balik di mana Zenius mengalami lonjakan pengguna dan pendapatan hingga 70% di semester kedua tahun tersebut.
Dengan pertumbuhan yang sangat pesat, Zenius mendapatkan pendanaan lebih dari USD 40 juta dari investor ternama seperti MDI Ventures, Alpha JWC Ventures, Openspace Ventures, Northstar Group, dan Beacon Venture Capital.
Kejatuhan Zenius
Meskipun menjadi salah satu platform edtech terbesar di Indonesia, Zenius akhirnya harus menutup operasinya. Pertanyaannya, bagaimana perusahaan yang memiliki pendanaan besar dan basis pengguna yang kuat bisa gagal?
Keputusan Salah yang Menjadi Awal Kehancuran
Setelah pandemi berakhir, banyak siswa kembali ke pembelajaran offline. Zenius melihat tren ini sebagai peluang untuk berekspansi ke segmen offline dan melakukan akuisisi terhadap Primagama, salah satu bimbingan belajar offline terbesar di Indonesia.
Namun, ada beberapa masalah besar yang muncul setelah akuisisi ini:
Kurangnya due diligence: Zenius tidak melakukan audit menyeluruh sebelum mengakuisisi Primagama. Setelah proses audit selesai, jumlah outlet yang awalnya 250 hanya tersisa 118 karena banyak yang tutup atau tidak memenuhi standar.
Masalah finansial: Akuisisi Primagama menyedot sumber daya keuangan Zenius. Mereka harus memotong anggaran pemasaran untuk mendukung operasional offline, yang justru memperburuk kondisi keuangan mereka.
Gesekan budaya kerja: Integrasi antara tim Zenius yang berbasis teknologi dan Primagama yang berbasis offline menimbulkan banyak konflik budaya dan perbedaan cara kerja.
Dengan meningkatnya beban operasional dan utang yang harus dibayar, Zenius mulai melakukan restrukturisasi dan melakukan tiga gelombang PHK besar pada Mei 2022, Agustus 2022, dan Februari 2023.
Akhirnya, pada Januari 2024, Zenius resmi menghentikan operasinya setelah gagal mendapatkan investor atau melakukan merger & acquisition dengan perusahaan edtech lain.
Pelajaran yang Bisa Dipetik
1. Jangan Bertaruh Seluruh Perusahaan pada Satu Keputusan Besar
Startup adalah eksperimen yang terus berjalan. Penting untuk membedakan antara taruhan yang terukur dan taruhan yang eksistensial:
Taruhan yang terukur: Risiko kecil, potensi keuntungan besar. Jika gagal, masih ada kesempatan untuk mencoba strategi lain.
Taruhan eksistensial: Risiko besar yang bisa membunuh perusahaan jika gagal.
Akuisisi Primagama adalah taruhan eksistensial bagi Zenius. Ketika tidak berjalan sesuai harapan, perusahaan tidak punya cadangan strategi lain untuk bertahan.
Pelajaran: Jangan pernah mempertaruhkan seluruh perusahaan dalam satu keputusan besar. Selalu siapkan strategi cadangan.
2. Alokasikan Sumber Daya dengan Bijak
Zenius melakukan terlalu banyak hal sekaligus:
Membuka kantor di India
Merekrut banyak karyawan secara besar-besaran
Mengakuisisi Primagama
Menjalin kerja sama mahal dengan Disney
Meluncurkan kelas online live
Akibatnya, mereka kehabisan sumber daya dan tidak bisa fokus pada aspek yang benar-benar penting untuk pertumbuhan bisnis.
Pelajaran: Fokus pada strategi yang memiliki ROI terbaik. Jangan menyebar sumber daya terlalu tipis hingga tidak bisa mengelola semuanya dengan baik.
3. Selalu Bersiap untuk Skenario Terburuk
Saat Zenius mengalami pertumbuhan pesat di masa pandemi, mereka tidak menyiapkan strategi untuk menghadapi potensi perubahan pasar setelah pandemi usai. Keputusan untuk beralih ke model bisnis offline justru mempercepat kejatuhan mereka.
Pelajaran: Dalam masa kejayaan, tetap pikirkan kemungkinan terburuk dan siapkan strategi mitigasi risiko.
Kesimpulan
Kisah Zenius adalah pengingat bagi para founder startup bahwa satu keputusan yang salah bisa membawa dampak fatal jika tidak dipikirkan dengan matang.
Jangan bertaruh seluruh perusahaan pada satu keputusan besar.
Alokasikan sumber daya dengan optimal dan fokus pada yang benar-benar penting.
Selalu siapkan strategi untuk menghadapi skenario terburuk.
Dengan mengambil pelajaran dari kasus ini, semoga kita bisa membangun bisnis yang lebih kuat dan tahan terhadap perubahan pasar. 🚀
